arti logo samiyah

Aqiqah Menurut Islam

aqiqah menurut islam

 

 

Oleh : Herri Permana

 

Di dalam agama Islam salah satu cara untuk menyambut kehadiran bayi dalam suatu keluarga biasanya dilakukan dengan acara aqiqah. Aqiqah itu merupakan proses pemotongan kambing, yang kemudian daging kambing diolah menjadi makanan dan dibagikan kepada tetangga atau saudara.

Pengertian Aqiqah

Salah satu cara untuk menyambut bayi yang baru lahir yaitu dengan melaksanakan kegiatan aqiqah. Hal ini merupakan, bentuk rasa syukur atas kelahiran Si Kecil agar mendapat berkah. Kelahiran Si Kecil tentu membawa kebahagiaan. Ada satu rangkaian dalam Islam dalam menyambut kelahiran, yakni aqiqah. Jauh hari sebelum hari lahir tiba, ada baiknya Anda mempersiapkan budget ketika Si Kecil lahir.

Bukan hanya untuk biaya kelahiran dan segala perlengkapan Si Kecil, tetapi juga perlu mempersiapkan budget juga yang dikeluarkan untuk melakukan aqiqah. Aqiqah dapat diartikan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas kelahiran bayi.

Rasa syukur tersebut diwujudkan dengan memotong kambing dan dibagikan kepada saudara, tetangga, dan mereka yang membutuhkan. Aqiqah kerap diidentikan seperti pemotongan hewan kurban saat Idul Adha, tetapi tentu niat dan tata cara pelaksanaannya memiliki perbedaan.

Secara bahasa, aqiqah memiliki arti “memotong” yang berasal dari bahasa arab “al-qath’u”. Terdapat juga definisi lain  yaitu nama rambut bayi yang baru dilahirkan. Menurut istilah, aqiqah adalah proses kegiatan menyembelih hewan ternak pada hari ketujuh setelah bayi dilahirkan.

Berdasarkan tafsir sebagian besar ulama yang dinilai paling kuat, aqiqah hukumnya adalah sunnah muakkad. Aqiqah menjadi ibadah yang penting dan diutamakan. Bila mampu untuk melakukannya, maka orang tua sangat dianjurkan untuk melakukan aqiqah anaknya saat masih bayi. Namun, bagi yang tidak mampu untuk melaksanakannya boleh ditinggalkan tanpa berdosa.

Diriwayatkan Al-Hasan dari Samurah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Semua anak tergadaikan dengan aqiqahnya yang disembelihkan pada hari ketujuh, dicukur rambutnya, dan diberikan nama.” (HR Ahmad 20722, At-Turmudzi 1605).

Ini adalah hadits yang paling kuat tentang disyariatkannya aqiqah. Syariat untuk melakukan aqiqah hanya dapat Anda temukan di hadist-hadist Nabi Muhammad SAW dan tidak dijumpai di dalam ayat Al-Qur’an. Meski tidak ada Al-Qur’an, Ustadz Aris Munandar memberikan penjelasan bahwa seorang muslim tidak membeda-bedakan aturan dalam Al Quran dan hadist.

Ini karena kita diperintahkan untuk taat kepada Nabi Muhammad SAW sebagaimana kita taat kepada Allah dan ayat-ayat Al Qur’an.

“Aqiqah menjadi satu hal yang sangat populer dan tak terpisahkan di tengah-tengah kehidupan beragama kaum muslimin”.

Hukum aqiqah dalam islam sendiri termasuk sunnah muakkad dan dapat dilakukan bagi muslim yang mampu. Tujuan dilaksanakan aqiqah ini yaitu berbagi kebahagiaan kepada orang sekitar, sehingga muncul doa terbaik agar Si Kecil tumbuh dengan baik dari fisik maupun akhlaknya.

Waktu yang Tepat untuk Hukum Aqiqah

Untuk waktu pelaksanaan hukum aqiqah, Irsyad mengatakan bahwa biasanya dilakukan pada hari ketujuh dari kelahiran bayi. Hal ini berdasarkan hadist Rasulullah SAW.

Diriwayatkan Samurah bin Jundub Ra, Rasulullah SAW bersabda, “Setiap bayi tergadaikan oleh aqiqahnya yang disembelih untuknya pada hari ketujuh, lalu dicukur dan diberi nama.” (HR. An-Nasa’i).

Menilik dari hadist shahih tentang hukum  di atas, waktu untuk melakukan aqiqah pada Si Kecil dianjurkan pada hari ketujuh setelah kelahirannya. Cara menghitung hari ketujuh adalah dengan menyertakan hari kelahirannya. Misal, jika Si Kecil lahir dihari Senin maka hukum aqiqah dapat dilakukan dihari Minggu berikutnya.

Dalam sebuah hadits dikatakan, “Penyembelihan hewan aqiqah bisa hari yang ke-7, hari ke-14, atau hari ke-21.” Hadist ini dianggap sebagai hadist yang shahih oleh sebagian ulama.

Syarat Melakukan Aqiqah

Dalam melaksanakan aqiqah, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi. Hal ini juga akan disesuaikan dengan jenis kelamin dari anak. Berikut ini syarat-syaratnya yaitu:

Jumlah Hewan Aqiqah

aqiqahPelaksanaan aqiqah antara anak laki-laki dengan anak perempuan ini memiliki persyaratan yang sedikit berbeda. Saat sudah meniatkan untuk mengaqiqahi Si Kecil, ada hal yang perlu diperhatikan, terutama untuk jumlah kambing yang akan disembelih.

Di mana jumlah hewan aqiqah yang disembelih untuk anak laki-laki yaitu dua ekor kambing atau domba. Sedangkan jumlah hewan yang dibutuhkan untuk anak perempuan hanya membutuhkan satu ekor kambing atau domba saja.

Dari hadits diriwayatkan, “Siapa dari kalian yang suka menyembelih atas kelahiran anak maka lakukanlah, anak laki dua ekor kambing yang cukup syarat, anak wanita dengan satu ekor”

Meski demikian, jumlah ini juga bisa disesuaikan bagi orang tua kurang mampu. Jika tidak mampu untuk menyembelih dua ekor, maka bisa menyembelih satu ekor saja. Sesungguhnya tata cara pelaksanaan aqiqah antara anak laki-laki dan perempuan sama saja.

Perhatikan Kondisi Hewan 

Syarat berikutnya yaitu perhatikan kondisi hewan yang akan digunakan untuk pelaksanaan aqiqah. Kondisinya yaitu hewan tersebut harus berada dalam kondisi sehat, tidak cacat, cukup umur, dan tidak kurus. Biasanya kambing yang digunakan  memiliki kisaran umur satu tahun dan memiliki jenis kelamin jantan maupun betina. Hukum aqiqah ini memang sunnah muakkad, namun dagingnya ini juga disunahkan untuk dimasak terlebih dahulu.

Dibagikan Bentuk Olahan Masakan

daging dombaPendapat terkuat  aqiqah menurut islam adalah dibagikan dalam bentuk masakan olahan. Dalam kitab Kifayatul Akhyar, Taqiyuddin Abu Bakr ra. menjelaskan, “Hendaklah hasil sembelihan hewan aqiqah tidak disedekahkan mentahan, namun dalam keadaan sudah dimasak”.

Imam Nawawi Asy-syafi’I dalam matan Minhajuth Thalibin, menyebutkan, “(Daging aqiqah) disunnahkan untuk dimasak (sebelum dibagikan).” Dengan dimasaknya daging aqiqah, ini menunjukkan kebaikan orang yang beraqiqah, kemuliaan akhlaknya serta tanda kedermawanan.  Dengan daging yang sudah dimasak, maka tidak merepotkan orang yang menerima dagingnya, karena mereka bisa langsung menyantapnya tanpa harus memasaknya terlebih dahulu”.

Imam Ibnu Qayyim dalam kitabnya “Tuhfathul Maudud” hal.43-44, berkata : “Memasak daging aqiqah termasuk sunnah. Yang demikian itu, karena jika dagingnya sudah dimasak maka orang-orang miskin dan tetangga (yang mendapat bagian) tidak merasa repot lagi. Dan ini akan menambah kebaikan dan rasa syukur terhadap nikmat tersebut. Para tetangga, anak-anak dan orang-orang miskin dapat menyantapnya dengan gembira. Sebab orang yang diberi daging yang sudah masak, siap makan, dan enak rasanya, tentu rasa gembiranya lebih dibanding jika daging mentah yang masih membutuhkan tenaga lagi untuk memasaknya….Dan pada umumnya, makanan syukuran (dibuat dalam rangka untuk menunjukkan rasa syukur) dimasak dahulu sebelum diberikan atau dihidangkan kepada orang lain.”

Membagikan Aqiqah dengan Daging Mentah

Saat ini, kita banyak menjumpai tempat-tempat penyembelihan hewan aqiqah yang sekaligus memasak dan membuat hantaran berupa nasi kotak dengan berbagai olahan daging kambingnya. Hal ini sangat praktis dan tidak menyita waktu Anda untuk mempersiapkannya. Seperti halnya dalam berkurban, pihak keluarga pun diperkenankan untuk makan daging aqiqah.

Meski tidak biasa, tetapi ternyata hasil sembelihan aqiqah menurut islam pun dapat diberikan dalam kondisi mentah. Sebagian ulama yang membolehkan membagikan aqiqah dalam kondisi daging mentah diantaranya Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, dalam Hasyiyatul Bujarimi alal Manhaj

 

فَيَجِبُ التَّصَدُّقُ بِجَمِيعِهَا عَلَى الْفُقَرَاءِ شَوْبَرِيٌّ، وَيَتَخَيَّرُ بَيْنَ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِجَمِيعِهَا نِيئًا، وَبَيْنَ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِالْبَعْضِ نِيئًا، وَبِالْبَعْضِ مَطْبُوخًا وَلَا يَصِحُّ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِالْجَمِيعِ مَطْبُوخًا

Artinya, “Semuanya wajib disedekahkan kepada orang fakir sebagaimana pandangan As-Syaubari. Seseorang boleh memilih antara menyedekahkan semuanya dalam keadaan mentah, atau menyedekahkannya sebagian dalam keadaan mentah dan sebagiannya dalam kondisi matang. Tidak sah menyedekahkan semuanya dalam keadaan matang

 

Aqiqah Saat Anak Sudah Dewasa

Ini menjadi pertanyaan yang sering dilontarkan oleh sebagian orang. Bagaimana jika aqiqah menurut islam apabila dilakukan saat anak sudah dewasa atau telanjur besar?

Menurut pendapat para ulama, apabila orang tuanya dahulu adalah orang yang tidak mampu pada saat waktu dianjurkannya aqiqah, maka ia tidak punya kewajiban apa-apa walaupun mungkin setelah itu ia sudah mampu untuk aqiqah.

Sebagaimana apabila seseorang miskin ketika waktu pensyariatan zakat, maka ia tidak diwajibkan mengeluarkan zakat meskipun setelah itu kondisinya serba cukup. Jadi, apabila keadaan orang tuanya tidak mampu ketika pensyariatan aqiqah, kewajiban aqiqah menjadi gugur karena ia tidak memiliki kemampuan.

Sedangkan jika orang tuanya mampu sejak anak lahir, tetapi ia menunda aqiqah batasannya adalah sampai dia berusia baligh dimana bila sudah lewat baligh maka dianggap gugur.

Dalam permasalahan melakukan aqiqah diri sendiri ketika sudah dewasa ulama terbagi kepada dua pendapat :

Pendapat pertama disunahkan bagi mereka yang belum sempat diaqiqahkan oleh orang tuanya, untuk melaksanakan aqiqah sendiri. Sebagaimana pendapat Atho’ , Hasan, Muhammad bin Sirin, dan sebagian kalangan Syafi’i.

Mereka menjadikan hadits yang menjelaskan bahwa nabi saw pernah melakukan aqiqah untuk dirinya sendiri sebagimana termaktub dalam kitab I’anathutholibin (Syarah dan kitab Fathul Mu’in Jus 2 Halaman 336) Bahwa Rasulullah Muhammad SAW melaksanakan Aqiqah untuk dirinnya sendiri sesudah beliau diangkat menjadi nabi (usia 40 tahun)

Pendapat kedua tidak diwajibkan pada seorang anak yang belum sempat diaqiqahkan oleh orang tuanya untuk melakukannya sendiri. Karena aqiqah pada asalnya disyariatkan kepada orang tua atau wali yang memeliharanya. Maka tidak ada perintah untuk melakukannya sendiri. Pendapat ini yang dijadikan landasan kalangan Syafi’i dan Ahmad bin Hambal.

Dari dua pendapat diatas, dan terdapat argumentasi lemahnya dalil yang dijadikan landasan pendapat pertama. Akan tetapi terdapat beberapa keterangan dari para ulama terdahulu yang menjelaskan bahwa mereka melakukan aqiqah secara mandiri.

Seperti keterangan yang didapatkan dari Imam Hasan al Bashri : “ jika belum sempat diaqiqahkan, maka lakukanlah aqiqah sendiri bagi anak laki – laki “.Selain itu Muhammad bin Sirin mengungkapkan “ aku melakukan aqiqahku sendiri dengan seekor kambing “.

Dari keterangan berikut dapat disimpulkan bahwa ulama tidak melarang untuk melakukannya secara sendiri. Maka bagi yang belum sempat diaqiqahkan oleh kedua orangtuanya, tidak mengapa jika ingin melakukannya sendiri. Sebagaimana tidak ada larangan untuk tidak melaksanakannya.

 

Bandung , 08 Januari 2023

 

Penulis adalah Ketua Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) Samiyah Amal Insani , Panti Asuhan di Bandung

 

Back to Article

Donasi Yuk
1