arti logo samiyah

Hak Perempuan Memilih Pasangan

hak perempuan

oleh : Herri Permana

 

Hak perempuan dalam perkawinan merupakan salah satu unsur penting dalam hak-hak individu dalam kehidupan masyarakat salah satu bagian dalam hak perkawinan ini adalah hak menentukan pasangan hidupnya.

Dalam pandangan masyarakat tradisional anak dipandang sebagai hak milik dan asset keluarga sehingga perkawinan dipandang sebagai salah satu cara untuk melakukan transaksi dan membangun hubungan baik dengan keluarga lain. Misal saja para pangeran atau putri raja dinikahkan dengan putra atau putri raja lain sebagai kompensasi dari perjanjian hubungan dagang, militer, ekonomi atau politik, atau bisa juga dengan bangsawan atau panglima perang yang kuat sebagai hadiah dan untuk menjaga loyalitasnya pada sang raja.

kawinDi masyarakat bawah pun perkawinan juga dipandang dalam kacamata yang sama misal saja kalangan petani menikahkan putrinya dengan pria yang dianggapnya mampu menggarap ladangnya atau keluarga lain yang memiliki ladang lebih besar.

Sehingga dalam hubungan perkawinan kehendak anak tidaklah menjadi pertimbangan serius dibandingkan pertimbangan motif ekonomi, politik, sosial dll karena pandangan bahwa anak adalah hak milik orang tua sehingga anak tidak memiliki hak untuk menentukan kehendaknya sendiri tanpa persetujuan orang tua. Di dalam pola ini posisi anak perempuan lah yang paling rentan. Karena keadaan fisik dan psikologisnya anak-anak perempuan seringkali dalam posisi tidak bisa melawan dan harus mengalah terhadap kehendak orang tua.

Konsepsi Islam

Konsepsi Islam dalam masalah perkawinan mendobrak tradisi tradisional mengenai perkawinan. Anak dalam Islam tidaklah dipandang sebagai hak milik orang tua melainkan sebagai seorang individu yang bebas merdeka untuk memilih kehendaknya sendiri. Kedudukan orang tua dipandang hanya sebatas untuk menjaga, mendidik dan merawat anak-anaknya sampai mereka dewasa dan memiliki kemampuan untuk memilih jalannya sendiri.

kawinKarena itulah konsepsi Islam mengenai pernikahan adalah harus didasari oleh kehendak dan persetujuan bersama kedua belah pihak yang hendak menikah dan bila kedua pasangan telah bersepakat maka siapapun tidak boleh menghalangi kehendak mereka termasuk wali dan orang tua. Bahkan penolakan orang tua atau wali untuk menikahkan anaknya dengan calon pilihannya sendiri dianggap sebagi tindakan yang melawan aturan agama sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surah Al Baqarah ayat 232 “… maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin dengan bakal suaminya”.

Ayat ini yang menjadi landasan para fuqaha untuk melarang perkawinan paksa bahkan menjadi landasan bahwa negara berkewajiban untuk mengambil alih menjadi wali nikah dengan meninjuk wali hakim bila wali nasabnya enggan atau menolak menikahkan mereka. Dalam konsepsi islam menikahkan adalah kewajiban bagi wali bukan hak jadi bila wali nasab menolak maka kewajiban itu harus diambil alih oleh negara.

Penolakan wali nasab hanya bisa diterima apabila alasannya sah menurut syari’at islam diantaranya, calonnya gila, tidak beragama islam, diketahui masyarakat buruk perangainya (suka melanggar pantangan agama seperti mabuk-mabukkan, judi, berzina dll) dan masih dibawah umur. Di luar alasan itu maka penolakan wali nasab tidak bisa diterima dan anak juga tidak dipandang durhaka kepada orang tua karena hal ini sebab dalam islam perkawinan itu hukumnya adalah wajib sehingga penolakan orang tua untuk menikahkan anaknya justru yang dianggap sebagai perlawanan terhadap hukum agama sehingga dianggap melakukan dosa.

Pernikahan dalam Islam bertujuan untuk menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah warrahmah sebagai landasan bagi pondasi masyarakat yang islami. Dan untuk mewujudkan ini maka sangat diperlukan kehendak kedua belah pihak yang hendak menikah secara merdeka karena merekalah yang akan menjalani hari-hari dalam perkawinan tersebut.Dan untuk mencapai tujuan ini maka cinta dan kasih sayang yang merupakan sebuah anugrah dari Allah yang terindah dan terjalin antara kedua belah pihak adalah pondasi yang paling kuat bagi mereka sebagaimana yang difirmankan Allah dalam Al Qur’an : “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir ” (Ar Rum ayat 21)

Penentuan Kehendak Nikah Adalah Hak Perempuan

Penentuan kehendak nikah dilakukan secara langsung pada yang bersangkutan sebagai hak perempuan persetujuan dari  janda harus secara lisan sementara anak gadis maka diamnya berarti setuju sementara penolakannya harus diutarakan secara lisan berdasarkan hadis nabi “Sesungguhnya Nabi Muhammad s.a.w berkata : seorang janda tidak boleh dikawinkan tanpa diajak dahulu bermusyawarah dan seorang gadis tidak boleh dikawinkan tanpa meminta persetujuannya terlebih dahulu, orang-orang kemudian bertanya “Ya Rasululullah bagaimana kami mengetahui bahwa ia memberi izin” Beliau menjawab ” diamnya perempuan menunjukkan persetujuannya” (HR Bukhari)

kawinDari hadis ini bisa dilihat bahwa izin persetujuan menikah bukanlah hak orang tua melainkan hak perempuan dan calon pasangannya. Orang tua hanya diperbolehkan mengajukan dan menawarkan calon pilihannya atau juga menyampaikan pinangan seseorang kepada anaknya sementara hak untuk memberi keputusan menolak ataupun menerima calon atau pinangan itu merupakan hak mutlak anak yang tidak boleh diganggu gugat. Kalaupun orang tua tetap memaksa anak perempuannya menikah maka negara berhak dan wajib untuk menolak untuk mensahkannya.

Masalah Hak Ijbar

Hak ijbar adalah hak untuk menikahkan paksa seorang anak perempuan yang masih berusia di bawah umur dan belum mampu menentukan pilihannya sendiri oleh wali sang anak (ayah atau kakek). Dalil umum yang dipakai dalam penetapan hak ijbar ini adalah kasus pernikahan antara Rasulullah s.a.w dengan Siti Asiyah yang waktu itu masih berusia 9 tahun dan sebuah hadis yang memerintahkan untuk menyegerakan pernikahan anak perempuan.

Imam Syafi’i sendiri menentapkan sejumlah aturan atau rambu-rambu mengenai hal ini , antara lain :

a. Wali yang berhak melakukan ijbar (wali mujbir) hanya ayah atau kakeknya

b. Anak yang diijbarkan masih gadis dan belum cukup dewasa untuk menentukan pilihannya sendiri

c. Calon suami yang dipilihkan harus sekufu (sederajat) dalam bidang pendidikan,  sosial, ekonomi atau keturunan.

d. Mahar yang diberikan oleh calon suami harus mahar mitsil

e. Pria yang dipilih harus pria baik-baik dan mampu memenuhi kewajiban nafkah.

Akan tetapi hak ijbar ini dalam mazhab syafi’i pun tidak boleh diterapkan pada anak perempuan yang sudah dewasa, hanya pada anak yang belum baligh. Hak ijbar ini sendiri pada dasarnya hanyalah sebuah pemikiran fiqh pribadi dari Imam Syafi’i bukanlah sebuah aturan agama yang baku karena aturan ini tidak dilandasi oleh nash sehingga tidak ada kewajiban untuk mengikutinya apalagi dengan kondisi masyarakat modern dimana usia pernikahan lebih tinggi, konsep ijbar ini dengan sendirinya tertolak dengan dimasukkannya masalah perkawinan anak di bawah umur sebagai tindakan kriminal yang bisa dikenai hukuman di beberapa negara.

Akan tetapi di kalangan masyarakat tradisional seperti di Timur Tengah konsep ijbar ini ternyata juga diberlakukan terhadap perempuan dewasa bahkan ada tradisi “honor killing” yang menjadi horor bagi para perempuan di wilayah seperti Mesir (khususnya Selatan), timur Tengah dan Asia Selatan dimana seorang perempuan bisa dibunuh dengan dalih melanggar aturan agama dan kehormatan keluarga bila menikah dengan calon yang tidak dikehendaki keluarganya. Tapi pada dasarnya tindakan seperti ini hanya perilaku ekstrim yang sama sekali tidak ada landasannya dalam agama karena agama Islam justru menghormati sepenuhnya hak-hak perempuan untuk memilih pasangannya sendiri.

Hukum Negara Republik Indonesia

Hukum Negara yang sah dan berlaku di negeri ini dalam masalah Perkawinan adalah mengacu pada UU no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.UU ini sendiri sangat dipengaruhi oleh konsep hukum perkawinan Islam dan khusus bagi penganut agama Islam aturan perkawinannya juga diperluas dalam bentuk Kompilasi Hukum Islam Indonesia yang didasari oleh Inpres no 1/1991 yang salah satu bagiannya mengatur masalah perkawinan dan menjadi pedoman bagi Pengadilan Agama untuk mengatur dan mengesahkan perkawinan secara agama Islam.

Kehendak dan persetujuan kedua mempelai juga menjadi dasar untuk menikah dalam UU no 1/1974 sebagaimana yang termuat dalam Pasal 6 ayat (1) UU no 1/1974 yang berbunyi  “Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai“. Karena itu tidak ada satupun pihak termasuk orang tua kedua calon mempelai yang boleh menolak perkawinan apabila kedua calon itu sendiri sudah setuju. Dan bila tidak didasari persetujuan dari salah satu atau kedua calon mempelai maka negara juga wajib menolak menikahkannya.

Hak negara untuk mengambil alih wali nasab yang enggan melaksanakan kewajibannya dan bertindak sebagai wali hakim dimuat dalam Kompilasi Hukum Islam Indonesia pasal 22 ayat (2) yang berbunyi “Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut”.

Sehingga bila wali nasab enggan menikahkan ia harus mampu memberikan alasan-alasannya pada Pengadilan Agama. Bila ia tidak mampu memberikan alasan-alasan yang sah berdasarkan agama dan UU maka haknya akan diambil alih oleh negara. Alasan yang bisa diterima oleh pengadilan hanyalah apabila sang calon tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan sebagaimana yang ditetapkan UU perkawinan misal di bawah umur, tidak dapat izin istri pertama (dalam perkawian poligami), sang calon berada pengampuan atau hukuman atau masih terikat pada perkawinan lain (khusus perempuan) sebagaimana yang termuat dalam UU perkawinan no 1/1974 pasal 13, 14 dan 15, selain juga alasan yang sah menurut pertimbangan agama seperti gila atau idiot, tidak beragama Islam, masih di bawah umur dll, sementara alasan latar belakang atau tingkat pendidikan , kondisi sosial dan ekonomi , keturunan dll tidak dianggap sebagai sebuah alasan  yang dapat diterima.

Akan tetapi izin orang tua berlaku mutlak apabila kedua atau salah satu pasangan dianggap belum cukup umur untuk menentukan pilihannya sendiri dimana dalam hal ini negara menetapkan batasan umur 21 tahun sebagaimana termuat dalam pasal 6 ayat (2) UU no 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia pasal 15 ayat (2).

Dari sini juga kita bisa lihat bahwa konsepsi hukum pernikahan negara Republik Indonesia juga pada dasarnya sejalan dengan nafas hukum agama Islam dengan memberikan hak dan kewenangan mutlak terhadap kehendak nikah kepada kedua calon pasangan secara merdeka. Sehingga penolakan ataupun pemaksaan nikah oleh orang tua pasangan atau salah satu pasangan tidak dianggap sebagai penghalang bagi kehendak nikah bahkan negara dianggap bertanggung jawab penuh untuk menikahkan mereka dengan atau tanpa persetujuan orang tua. Cinta dan rasa kasih sayang adalah anugrah terindah yang Allah berikan pada manusia sehingga bila ada seseorang yang menolaknya maka ia sama saja dengan menolak rahmat Allah swt.

Bandung 24 Desember 2006

Artikel di re-publish dari penulis yang sama

Penulis sekarang adalah Ketua Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) Samiyah Amal Insani , Panti Asuhan di Bandung

 

Back to Article

Donasi Yuk
1